Tukang becak tua itu, Pak Amin, tampak kelelahan dalam mengayuh becaknya. Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Sesekali dia menyeka peluh di wajahnya dengan handuk yang disampirkan di bahunya. Pekerjaan kasar seperti ini sudah tidak cocok untuk orang tua sepertinya. Tapi, mau bagaimana lagi, hanya dengan becaknya itu dia bisa memberi makan istri dan anak-anaknya yang masih kecil.
Pak Amin sudah hampir tidak sanggup lagi untuk mengayuh becaknya. Untung saja sudah hampir sampai di alamat penumpangnya. Begitu sampai, kedua penumpang becaknya langsung turun dan memberikan uang kepada Pak Amin. Dia tampak begitu puas menerimanya meskipun hanya dua puluh ribu rupiah. Maklum, dari pagi dia baru mendapatkan sejumlah itu saja.
LautanKata
Dengan suka hati, Pak Amin mengayuh becaknya ke pasar untuk mangkal lagi. Meski sudah lelah, dia masih ingin mengais rezeki, karena di lihatnya hari masih belum terlalu sore. Lagi pula, uang 20 ribu bisa beli apa? Untuk makan? Cukup, tapi hanya makan malam dan bagaimana dengan sarapan keesokan harinya?
Sesekali, Pak Amin bersiul. Melantunkan tembang kenangan yang masih di hafal olehnya. Di perempatan jalan Pak Amin berhenti. Lampu merah. Dan dengan sabar dia menunggu. Sambil menunggu Pak Amin bergumam,
"Sekali lagi..."
...dan sudah cukup untuk sampai besok, lanjutnya dalam hati.
Lampu hijau. Pak Amin bergegas mengayuh becaknya. Tepat di persimpangan, bunyi klakson mengagetkannya.
LautanKata
BRUAK...!!!
Seorang anak sekolah yang membawa motornya dengan ugal-ugalan, melanggar lampu merah dan menabrak sisi kiri becak. Pak Amin terpelanting beserta becaknya. Hal yang juga terjadi pada anak sekolah yang menabraknya.
Seketika kecelakaan itu berubah menjadi seperti tontonan. Banyak orang yang berkerumun ingin menyaksikan apa yang terjadi. Beberapa orang meminggirkan Pak Amin beserta becaknya, juga anak sekolah itu dan sepeda motornya.
LautanKata
Pak Amin mengalami memar-memar. Becaknya sudah kehilangan bentuk. Sedangkan penabraknya tidak mengalami luka sedikit pun, motornya juga hanya tergores sedikit saja. Tak ada yang membela Pak Amin atau menyalahkan anak sekolah itu. Bahkan seorang polisi yang menjaga perempatan tersebut acuh tak acuh saja. Tidak mengamankan anak sekolah yang telah kebut-kebutan dan menerobos lampu merah, juga tidak menolong Pak Amin yang menjadi korban.
Orang-orang mulai meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Pak Amin dengan rongsokan becaknya. Mata sayunya menatap kosong rongsokan becaknya. Kemudian menatap langit. Mempertanyakan keadilan dan penderitaan yang diterimanya.
Cerpen oleh Jannu A. Bordineo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.