(Klik "disini" untuk versi baru! Untuk versi ini, tidak diteruskan.)
Suara langkah kaki itu terdengar jelas di kesunyian malam. Langkah pendek dan cepat, menandakan seseorang tengah berlari di kegelapan malam. Seseorang itu kemudian berbelok ke sebuah lorong sempit di pinggir jalan utama. Dinding-dinding gedung dua-tiga lantai di kiri-kanan lorong memantulkan dengan sempurna suara langkah itu. Begitu juga suara nafas yang memburu, yang dengan setia menemani suara langkah itu.
Suara langkah kaki itu terdengar jelas di kesunyian malam. Langkah pendek dan cepat, menandakan seseorang tengah berlari di kegelapan malam. Seseorang itu kemudian berbelok ke sebuah lorong sempit di pinggir jalan utama. Dinding-dinding gedung dua-tiga lantai di kiri-kanan lorong memantulkan dengan sempurna suara langkah itu. Begitu juga suara nafas yang memburu, yang dengan setia menemani suara langkah itu.
LautanKata
Sebagian besar gedung itu gelap tanpa penerangan. Itu karena gedung-gedung itu memang tak berpenghuni. Tapi, ada juga gedung yang berpenghuni dan penghuninya sengaja memadamkan semua penerangan ketika hendak tidur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan mereka sendiri. Maklum, semenjak pecah perang 12 tahun yang lalu, cahaya merupakan pembimbing sekaligus sasaran serang bagi kapal-kapal musuh ketika menyerang kota-kota pelabuhan. Memang tidak menghancurkan secara langsung dengan satu tembakan, tapi cukup untuk menghilangkan atap gedung maupun membuat dinding berlubang besar. Seperti yang terlihat sekarang, puing-puingnya memenuhi lorong sempit itu. Menghalangi lari dari seseorang itu.
Ada jeda yang lebih lama ketika seseorang itu melompat, menghindari puing-puing yang menghalanginya. Nafasnya semakin memburu karena lorong itu semakin ke ujung semakin menanjak. Seseorang itu terus berlari tanpa mengurangi kecepatan larinya. Lurus terus, sampai akhirnya dia keluar dari lorong itu dan sebuah jalan besar kembali di temuinya. Dia berhenti sebentar dan kemudian menyebrangi jalan itu. Dia menuju ke satu-satunya rumah yang masih utuh di sebrang jalan.
Pintu rumah itu dibukanya dengan kasar.
"Bos, kapal Orang Laut sudah datang!" seru seseorang yang berlari tadi. Nafasnya tesengah-engah. Dia terlihat masih bocah, begitu juga tiga orang yang tengah mengelilingi sebuah pelita kecil diruangan itu. Tak satupun diantara mereka terkaget.
Anak yang di panggil "Bos" menoleh. Kemudian melemparkan sebotol minuman di sampingnya kepada temannya. "Kamu beristirahat saja dulu, Jock. Tidak usah ikut ke pelabuhan lagi," katanya kemudian.
LautanKata
Jocker kemudian duduk sambil menenggak minumannya. Nafasnya masih naik turun.
"Al, bagunkan yang lainnya dan kau Lee, ikut aku memperpersiapkan Kotak Luncur," perintah anak yang di panggil "Bos" tadi.
Seorang anak yang berwajah tak bersemangat meletakkan buku yang dibacanya, kemudian bangkit dan mengikuti si Bos. Sedangkan anak yang satunya, yang sedang memainkan dua buah benda sebesar kerikil dan bercahaya, memasukkan benda yang dimainkannya itu ke dalam pelita, yang sepertinya menjadi sumber cahaya dari pelita itu, kemudian masuk ke ruang lain yang dibatasi oleh tirai putih.
LautanKata
***
"Kapal apa yang berlabuh, Bos Feno?" tanya seseorang bertubuh gendut sambil mengucek matanya. Keceriaan wajahnya tidak tertutupi meski dalam keadaan mengantuk begitu.
Feno, anak yang dipanggil Bos oleh teman-temannya, menunjuk ke arah laut. "Kau tahukan, Ron, itu kapal apa?"
Rondi melihat kearah yang ditunjukkan oleh Feno. Memang tempat mereka berdiri sekarang adalah titik tertinggi di kota itu jadi semua yang datang dari laut akan terlihat dengan jelas.
"Itu Orang Laut! Kita harus cepat..."
"Kau yang lambat, gendut!" sela seorang anak yang paling kecil. "Cuma kamu yang belum naik!"
Rondi bergegas menaiki salah satu Kotak Luncur yang masih kosong. Benda yang berbentuk persegi panjang dengan tiga roda. Dua roda depan dan satu roda belakang yang dihubungkan dengan tuas yang berfungsi sebagai kemudi. Begitu Rondi naik, pijakan rem dilepaskan dan tiga buah Kotak Luncur itu meluncur menuruni bukit.
LautanKata
***
Warung itu kecil saja. Berada di pelabuhan itu, dan merupakan satu-satunya yang ada disitu. Tampak beberapa orang keluar dari warung itu, menyisakan dua orang di dalamnya. Pemilik dan pelanggan setia dari warung itu.
"Kasihan mereka," kata Kakek yang berdiri di sisi dalam meja warung. Tangannya mengelap gelas yang baru dicuci, sedangkan matanya memandang keluar, ke sekelompok anak yang ikut menurunkan muatan dari kapal yang baru berlabuh.
"Di saat anak-anak lain seusia mereka sedang terlelap, mereka harus bekerja untuk tetap bertahan hidup. Merekalah korban perang yang sesungguhnya."
Pelanggan setianya yang duduk didepannya tak menghiraukan kakek itu. Tertarikpun tidak. Pria setengah baya itu malah sibuk meminum kopinya seteguk demi seteguk.
Kakek itu tidak marah. Dia sudah tahu watak dan tabiat dari orang yang lebih muda di depannya itu.
"Kau tidak menghabiskan kopimu?" tanya Kakek itu ketika melihat pelanggannya beranjak berdiri.
Pria paruh baya itu lagi-lagi hanya diam saja. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang. Di letakkannya uang itu di meja dan berbalik pergi.
Tepat setelah pria paruh baya itu keluar dari warung, seorang bocah gendut masuk ke dalam warung bersama beberapa temannya.
"Selamat malam, Kakek Billy!" sapa bocah gendut itu dengan riangnya.
"Selamat malam, Rondi!" jawab Kakek pemilik warung. "Mau pesan apa?"
"Seperti biasa," jawab Rondi ringan.
LautanKata
Kakek Billy ke ruang belakang. Tak berapa lama muncul dengan nampan berisi 8 gelas es teh.
"Teman kalian tidak ikut seorang, kan?"
"Ya!!!" sahut salah seorang anak yang paling kecil.
"Kalau begitu sisakan satu gelas untuk Feno," pinta Kakek Billy begitu melihat Feno tidak ada diantara anak-anak di hadapannya.
Anak-anak itu hanya sebentar saja di warung itu. Mereka beranjak pergi begitu minuman mereka habis.
"Hei, Buyung! Bilang pada Feno, 'Minumannya sudah aku buatkan'?" perintah Kakek Billy pada anak yang paling kecil tadi.
"Iya, Kek!"
***
Feno meminum es tehnya perlahan-lahan. Dia begitu santai dan segar. Kantuk tak terlihat dari wajahnya, walau jam dinding sudah menunjukkan pukul 1 malam. Di saat asik minum, Kakek Billy mendekatinya.
"Ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Kakek Billy setengah berbisik. Dia mengambil kursi dan duduk disebelah Feno.
"Apa?" tanya Feno penuh perhatian.
Kakek Billy diam sejenak. Matanya yang waspada sempat melihat kesekeliling. "Entah ini perasaanku saja atau memang ada hubungannya. Serikat Perdamaian sepertinya tertarik dengan keinginanmu dan teman-temanmu."
"Maksud Kakek?" Feno tidak mengerti arah pembicaraan Kakek Bill.
"Bukankah kamu tahu, kemarin ada rombongan kapal Serikat Perdamaian yang berlabuh disini..."
"Lalu...," sela Feno.
"Aku melihat gerak gerik mencurigakan dari mereka," Kakek diam sejenak, " dan mereka begitu tertarik akan semua hal yang berhubungan dengan 'laut tak terpetakan' dan 'Maltras'."
Feno mencoba mencerna kata demi kata yang diucapkankan Kakek Billy. Dia anak yang cerdas dan telah mencapai kedewasaan diusia yang relatif masih muda. Kakek Billy tahu itu, karenanya dia tidak mengatakan secara langsung apa yang ingin disampaikan olehnya.
"Jadi maksud Kakek, Serikat Perdamaian tertarik untuk menemukan pulau 'itu'?"
Kakek Billy mengangguk pelan. "Dan mungkin ada maksud tersembunyi dari didirikannya Serikat Pejuang."
LautanKata
Hening. Baik Feno maupun Kakek Billy sama-sama membisu. Membiarkan pikiran masing-masing melayang-layang memikirkan kemungkinan yang terjadi.
"Dengar baik-baik," Kakek Billy membuka pembicaraan lagi, dan kali ini suaranya lebih pelan lagi, "mulai saat ini cobalah untuk tidak mengatakan keinginan kalian didepan umum atau kepada orang yang tidak kalian percaya."
Feno hanya mengangguk.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian," ucap Kakek Billy dengan tulus.
"Terima kasih, Kek!" Feno melontarkan senyuman hangat pada orang tua yang sudah dianggapnya sebagai kakeknya itu.
***
Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.