(Klik "disini" untuk versi baru! Untuk versi ini, tidak diteruskan.)
Rumah tua itu terlihat gelap dan menakutkan. Apalagi itu adalah bangunan satu-satunya yang masih utuh disitu. Feno masuk ke pekarangan rumah itu. Pekarangan yang memisahkan rumah yang ditempatinya bersama kawan-kawan dengan jalan besar. Disadarinya ada seseorang yang berdiri disamping pintu. Dengan posisi bersandar di tembok rumah, sosoknya terlindungi oleh bayang-bayang kegelapan malam.
LautanKata
Itu, Alona. Feno mengetahuinya setelah berada di dekat pintu.
"Ada apa, Al?" sapa Feno ramah dan dengan suara penuh wibawa.
"Kau sudah tahu beritanya?"
"Dari Kakek Bill?" Feno berspekulasi.
Al diam saja. Dan bagi Feno itu sama dengan anggukan dari temannya itu. Keduanya telah berteman sejak lama. Jauh lebih lama dari pada teman-teman lain. Jadi sama-sama tahu sifat masing-masing.
"Kau tahu lebih dulu?" tanya Feno.
Al terkekeh hambar dan tanpa rasa. Dia menganggap lucu pertanyaan bodoh dari Feno.
"Lupakan saja itu! Ada yang lebih penting," kata Alona kemudian.
"Aku tidak pernah meremehkan apapun." Feno tidak setuju dengan saran Al.
"Permasalahannya sama, jauh lebih penting dan ada hubungannya dengan berita dari kakek Bill," kata Al penuh percaya diri dan keyakinan. "Dan aku sama sekali tidak meremehkan berita itu," tambah Al.
Feno mendesah panjang. Di makluminya kenaifan dirinya. Terlebih, dia dianggap "pemimpin" oleh teman-temannya. Termasuk oleh Al, orang yang dianggap Feno lebih mampu dan lebih pantas di jadikan pemimpin dari pada dirinya.
"Apa masalahnya?" tanya Feno.
Al diam sejenak. "Ada yang mengawasi kita."
Feno mendesah lagi. "Mereka menginkan 'itu'?"
"Kemungkinan begitu. Segera peringatkan yang lain!"
"Tidak!" bantah Feno. "Keadaan akan semakin buruk kalau mereka tahu."
"Kalau begitu, jalankan saja saran Kakek Bill," kata Al dengan entengnya.
Feno menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia terlihat gusar.
LautanKata
"Carilah waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu!" saran Al sambil berlalu. Dibukanya pintu rumah dan kemudian masuk.
Tak berapa lama Feno mengikuti temannya itu, dan dengan kepala yang nyut-nyutan memikirkan semua masalah itu.
***
"Kenapa terburu-buru?" tanya Rondi saat diajak Feno untuk membeli kapal.
"Uang kita sudah cukup banyak, dan bukankah lebih cepat lebih baik!" kata Feno memberi alasan.
"Tidak biasanya kamu terburu-buru, iyakan Al?" Pertanyaan itu ditujukan pada Al yang sedari tadi diam saja.
Al hanya mengangkat kedua bahunya. Sikapnya acuh tak acuh dan sepertinya tidak peduli.
Melihat sikap Al, membuat Rondi jengkel. Apalagi dia juga tidak begitu suka pada Al. Dia heran kenapa Feno tidak mengajak Lee yang nyata-nyata lebih tahu tentang kapal, tapi malah mengajak Al yang tidak mengerti apa-apa dan juga menjengkelkan.
Ketiga anak laki-laki itu berbelok ke sebuah galangan kapal di dekat pelabuhan. Mereka menuju kantor "Bengkel Jaya", nama galangan itu. Di luar ruangan kantor itu ada seorang gadis yang sepertinya sedang menunggu.
"Wah, dek Lina! Kebetulan sekali. Adek menunggu bang Rondi, ya?" Goda Rondi pada gadis cantik itu. Sepertinya mereka telah saling kenal.
LautanKata
Gadis itu menunduk malu. Pipinya memerah.
Tiba-tiba pintu kantor terbuka dan keluar pria paruh baya yang di kenal Feno dan kawan-kawan sebagai syahbandar pelabuhan, Pak Dhar.
"Kalian lagi. Masih berani mengganggu anakku?" bentak pria itu.
"Ti...tidak kok. Kita kesini untuk urusan lain!" ujar Rondi. Dia keder juga, sampai tergagap seperti ini.
Sementara Rondi berurusan dengan Pak Dhar, Feno dan Al masuk ke dalam kantor. Membiarkan Rondi begitu saja karena diantara mereka hanya Rondi dan Jocker yang sering menggoda Lina.
Di dalam ruangan, ada seseorang yang tengah sibuk menghitung. Cerutu besar di mulutnya mengepulkan asap yang membuat udara menjadi pengap.
"Ada apa, teman?" sapa pria itu. Dia biasa memanggil orang lain dengan sebutan teman dari pada nama yang bersangkutan.
Feno membalas sapaan Pak Jaya, sedang Al tetap acuh tak acuh. Kemudian mereka duduk tanpa menunggu dipersilahkan.
"Kami ingin membeli kapal," kata Feno kemudian.
Pak Jaya langsung menghentikaan kegiatannya dan melihat Feno maupun Al dengan tatapan mengejek. "Seberapa banyak uang yang kalian punya?"
"Perlihatkan dulu barang anda!" Feno memulai tawar menawar sekaligus menantang Pak Jaya yang ragu akan kemampuan finansialnya.
Pak Jaya mendesah, kemudian bangkit berdiri. "Ikut aku ke bengkel."
Feno dan Al mengikuti Pak Jaya keluar. Rondi yang dari tadi bermasalah dengan syahbandar juga mengikuti mereka.
Pak Jaya membawa ketiga anak itu ke galeri galangannya. Anak-anak itu takjub melihat betapa megahnya kapal yang ada di situ.
LautanKata
"Ini kapal penangkap ikan," bisik Al pada Feno.
Feno mengangguk.
"Sama sekali tidak cocok untuk menjelajah."
"Aku tahu," kata Feno pelan. "Tapi, kapal penangkap ikan dirancang untuk mampu menjelajah ketempat yang jauh."
"Lambat," sela Rondi. "Hanya itu kekurangannya."
Feno mendesah. Didekatinya Pak Jaya yang berjalan lebih cepat.
"Kami butuh yang lebih cepat," kata Feno kemudian.
Pak Jaya menghentikan lqngkahnya. Ditatapnya pemuda di hadapannya itu dengan serius.
"Jika itu yang kalian inginkan," tatapan Pak Jaya melembut, "di sinilah tempatnya."
Pak Jaya membuka sebuah pintu di dinding disebelah kiri, kemudian masuk ke dalamnya. Ketiga pemuda itu mengikutinya.
Pintu itu menghubungkan ke galeri yang berbeda. Disini kapal-kapal yang ada lebih menakjubkan lagi. Kebanyakan merupakan kapal yang di gunakan militer maupun para petualang.
"Inilah Galeri 2!!! Hanya kapal-kapal terhebat buatan kami yang ada disini,"kata Pak Jaya dengan penuh kebanggaan.
"Apa ini termasuk juga?" celetuk Rondi. Tangannya menunjuk ke sebuah kapal tua dengan ukuran yang relatif kecil jika dinandingkan dengan kapal-kapal lain di Galeri 2.
"Jangan remehkan kapal itu. Memang itu bukan buatan kami, tapi jika dilihat dari model dan teknik pembuatannya, kapal itu sudah berumur 100 tahun lebih."
Feno dan Al tidak mempedulikan perdebatan Rondi dan Pak Jaya. Mereka berdua terpesona dengan keanggunan kapal tua itu. Kapal itu seperti memiliki daya tarik tersendiri.
"Berapa harga untuk kapal ini, Pak Jaya?" tanya Feno.
Pak Jaya tersenyum. "Begitu menarik, bukan? Aku pun merasa begitu ketika baru melihat...."
"Sudah! Sebutkan saja harga!" perintah Al.
"Gratis!"
"Kau serius?" tanya Feno dan Al bersamaan.
Pak Jaya mengangguk. "Aku sudah merasa puas jika kalian benar-benar bisa merawat kapal itu."
Feno dan Al terlihat senang sekali dengan keputusan Pak Jaya. Tapi, itu tidak terlihat pada Rondi.
"Apa kamu benar-benar ingin membeli kapal itu?" tanya Rondi pada Feno. Dari nada bicaranya dia sepertinya kurang setuju.
"Apa kamu tidak setuju?"
"Bukannya aku tidak setuju, tapi kondisi kapal itu sudah sangat mengenaskan."
"Uang yang digunakan untuk membeli kapal, kita gunakan untuk memperbaikinya. Dan untuk itulah kemampuanmu kita butuhkan," kata Feno meyakinkan.
LautanKata
Al yang dari tadi mengobrol dengan Pak Jaya menghampiri rekannya begitu Pak Jaya pergi.
"Pak Jaya mengizinkan. Kita boleh memakai bengkel lama yang sudah tidak terpakai untuk memperbaiki kapal kita," kata Al.
Feno mengangguk. "Apa dengan ini cukup?" tanya Feno pada Ron.
Rondi tersenyum. Dalam hati dia memuji kekompakan Feno dan Al dalam bertindak. Dapat dilihatnya, apa saja yang dilakukan kedua temannya itu saling berhubungan, meski tidak didiskusikan terlebih dahulu. Keduanya seperti memiliki pikiran yang sama dan saling terhubung.
"Besok aku akan mulai membeli semua yang kita butuhkan untuk memperbaiki kapal," kata Ron sekaligus memberikan jawaban kesetujuannya dengan teman lainnya.
Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
Sebelumnya |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.