(Ujung Dunia: Bab 1 - Keramaian di Tengah Malam, Anak-Anak Korban Perang)
Pelabuhan L, kota Ulin Batok. Sepuluh tahun setelah pertempuran terakhir dalam Perang Besar Samudra di Sisi Barat, Ujung Dunia.
Tengah malam telah lewat, tapi kegiatan di pelabuhan ikan itu masih ramai karena baru saja berlabuh kapal penangkap ikan besar yang membawa muatan berton-ton ikan. Baik ikan segar yang masih hidup atau yang telah dibekukan.
LautanKata
Meski pelabuhan masih ramai, hanya satu dari tiga kedai di pelabuhan itu yang masih buka. Kedai Kopi Billy yang tetap buka. Bahkan saat perang dulu kedai itu tetap buka di saat kedai lainnya memilih untuk tutup dan pemiliknya mengungsi.
***
"GUBRAKK!!"
Pintu kedai kopi itu terbuka secara kasar. Kemudian masuk seorang bocah laki-laki gundut dengan langkah yang tergesa-gesa. Bocah itu langsung menghampiri meja pemilik kedai.
"Jangan mendorong pintu terlalu keras, Ron!" tegur pemilik kedai tepat saat anak itu sampai di hadapannya. "Kelakuanmu itu mengganggu pelanggan lain."
"Hehehe, maa, Kek! Kukira sudah sepi," kata anak itu dengan cengar-cengir sambil melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan 30 menit lepas tengah malam.
Anak itu, yang bernama Rondi, menempatkan diri duduk di kursi bundar tanpa sandaran. Pandangannya kemudian menyapu ke seluruh ruangan itu. Tampak olehnya dua orang di pojok ruangan dan seorang lagi di pojok lainnya.
Kakek pemilik kedai tidak begitu mempedulikan ocehan maupun tingkah polah Rondi. Bahkan anak itu dibiarkannya saja mengoceh dengan punggungnya, karena dia sibuk membuat sesuatu di meja masak di belakang.
Tak berapa lama, kakek itu berbalik dengan membawa tiga gelas jus jeruk di tangannya. Dan meletakkannya di meja di depan Rondi kemudian kembali lagi ke meja masak.
"Wah! Terima kasih, Kek!" sorak Rondi gembira seraya menyembar salah satu gelas dan segera meminumnya.
"Memang gajah kamu ini, Ron!" sahut seorang anak yang baru masuk kedai saat mendapati Rondi menghabiskan setengah dari isi gelas yang berukuran besar dalam sekali teguk.
Anak itu seumuran Rondi, dengan tubuh yang jauh lebih tinggi dari rata-rata anak seusianya. Dia datang ke kedai itu bersama seorang anak lain yang lebih muda dari dirinya maupun Rondi.
LautanKata
Rondi yang tadi diam saja saat disindir temannya akhirnya angkat bicara. "Lebih baik memilki tubuh seperti gajah tapi sehat dari pada tubuh "kutilang'. Kurus-tinggi tinggal tulang," balas Rondi seraya tertawa lepas penuh kepuasan.
Anak itu sepertinya sudah menduga Rondi akan mengatakan hal itu. Dia sama sekali tidak terpengaruh akan ejekan balasan dari Rondi. Dia kemudian mengambil dua gelas jus jeruk yang ada di meja dan memberikan salah satunya pada anak kecil yang bersamanya.
Kakek pemilik kedai yang dari tadi sibuk di belakang kembali lagi dengan keranjang yang telah terisi tiga jus jeruk dan beberapa potong roti di dalamnya.
"Cepat habiskan minuman kalian, lalu bawalah jus ini pada teman kalian yang masih di dermaga," perintah Kakek pemilik kedai, "dan juga ada beberapa potong roti kuberikan pada kalian."
"Siap, Kek!" sahut ketiga anak itu serentak.
Mereka segera menjalankan perintah kakek itu dan segera beranjak pergi.
"Hai, Ron! Tolong Feno suruh kesini," pinta Kakek pemilik kedai setengah berbisik Rondi beranjak pergi. "Ada hal penting yang akan aku sampaikan," katanya lagi dengan suara yang lebih pelan.
Rondi mengangguk. Kemudian dengan tersenyum dia mengucapkan selamat malam pada kakek pemilik kedai yang telah dianggapnya, dan juga teman-temannya, sebagai kakeknya sendiri.
Kakek pemilik kedai itu memandang anak-anak itu yang semakin jauh dari pandangannya itu dengan hati iba. Di saat anak-anak lain seusia mereka tengah bermimpi dalam tidurnya, mereka harus membanting tulang dengan menjadi tenaga bantu bongkar-muat muatan kapal yang singgah di pelabuhan di kota mereka. Ini mereka lakukan untuk terus bertahan hidup.
LautanKata
Orang tua mereka telah meninggal ketika mereka kecil. Sewaktu perang meletus. Mereka kemudian ditampung oleh panti asuhan. Tapi, karena panti asuhan kekurangan dana dan tidak adanya donatur akibat keadaan perekonomian yang memburuk bahkan saat perang telah berlalu, akhirnya mereka memutuskan kabur saat usia mereka baru memasuki masa remaja dengan alasan tidak tega melihat anak-anak lain yang masih kecil kekurangan makan di panti asuhan yang telah penuh sesak.
Anak-anak itu hidup dari kapal satu ke kapal lainnya. Sampai akhirnya mereka bertemu satu sama lainnya di kota Ulin Batok ini dan memutuskan menetap.
Kakek Billy, pemilik kedai itu, mengenang kembali masa-masa perang dulu. Saat dia menyelamatkan seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya dan mengasuhnya. Sampai sekitar setahun lalu anak yang diasuhnya itu memilih untuk bergabung bersama anak-anak yang senasib dengannya yang baru tiba di kota itu.
LautanKata
"Bukanlah prajurit yang mati saat perang dulu, tapi anak-anak inilah korban perang sesugguhnya," gumam Kakek Billy lirih. Suaranya parau melihat kesengsaraan anak-anak itu.
Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.