(Ujung Dunia: Bab 3 - Sebuah Pesona)
Feno berjalan santai melewati lorong gelap. Lorong itu penuh dengan puing-puing dari bangunan di samping lorong. Bangunan-bangunan itu hancur oleh tembakan meriam selama perang. Dan sekarang, bangunan itu kebanyakan ditinggalkan oleh pemiliknya.
LautanKata
Feno cukup ngos-ngosan melewati jalan yang semakin menanjak. Dia sedikit menyesal karena telah memilih salah satu rumah kosong yang letaknya di bukit kota untuk ditinggali. Tapi, kenyataan bahwa rumah itu berada di titik tertinggi di kota Ulin Batok dan memiliki jarak pandang yang baik membuatnya merasa impas. Dia bisa melihat langsung ke laut tanpa ada yang menghalangi pemandangan.
Ketika menemui jalan besar. Kontur tanah sudah datar kembali. Feno segera menyebrangi jalan itu dan menuju ke rumah yang kondisinya paling baik dari rumah lainnya. Dengan sebagian atapnya hilang, temboknya banyak berlubang maupun runtuh.
Saat sampai di teras rumah itu, disadarinya ada seseorang berdiri di samping pintu.
"Al?" gumam Feno setelah mengamati dengan seksama.
Sosok temannya itu bersandar di dinding dan terlindung dalam bayangan sehingga tidak begitu terlihat. Baru setelah temannya itu, Alona, maju beberapa langkah dan menghampiri dirinya, dia dapat melihat dengan jelas temannya itu karena langit cukup cerah.
"Sepertinya ada sesuatu yang penting?" terka Feno.
"Ya," jawab Al singkat dengan tampang acuh tak acuh. Mungkin orang yang tidak mengenalnya akan marah jika berbicara dengannya.
"Kakek Billy sudah memberitahukannya padaku."
Terdengar suara desahan dari Al. "Ini bukan apa yang di sampaikan oleh Kakek Billy seperti yang kamu duga. Sesuatu yang lebih penting."
"Aku tak pernah meremehkan hal-hal sekecil apapun," sela Feno cepat. Dia cukup terkejut Al sudah mengetahui apa yang Kakek Billy sampaikan.
"Bukan maksudku meremehkan."
Kali ini terdengar helaan nafas dari Feno. Dalam hati dia memaki dirinya sendiri karena ketidak tahuannya. Menurutnya Al lebih pantas dijadikan pemimpin dari pada dirinya. Dia telah lama berteman dengan Al, jauh lebih lama dari pada dengan teman-teman lainnya. Dan dia juga tahu Al lebih mampu untuk memimpin teman-temannya dari pada dirinya sendiri.
Sosok temannya itu bersandar di dinding dan terlindung dalam bayangan sehingga tidak begitu terlihat. Baru setelah temannya itu, Alona, maju beberapa langkah dan menghampiri dirinya, dia dapat melihat dengan jelas temannya itu karena langit cukup cerah.
"Sepertinya ada sesuatu yang penting?" terka Feno.
"Ya," jawab Al singkat dengan tampang acuh tak acuh. Mungkin orang yang tidak mengenalnya akan marah jika berbicara dengannya.
"Kakek Billy sudah memberitahukannya padaku."
Terdengar suara desahan dari Al. "Ini bukan apa yang di sampaikan oleh Kakek Billy seperti yang kamu duga. Sesuatu yang lebih penting."
"Aku tak pernah meremehkan hal-hal sekecil apapun," sela Feno cepat. Dia cukup terkejut Al sudah mengetahui apa yang Kakek Billy sampaikan.
"Bukan maksudku meremehkan."
Kali ini terdengar helaan nafas dari Feno. Dalam hati dia memaki dirinya sendiri karena ketidak tahuannya. Menurutnya Al lebih pantas dijadikan pemimpin dari pada dirinya. Dia telah lama berteman dengan Al, jauh lebih lama dari pada dengan teman-teman lainnya. Dan dia juga tahu Al lebih mampu untuk memimpin teman-temannya dari pada dirinya sendiri.
"Jadi, apa hal penting itu?" Ada keputusasaan dalam nada bicara Feno.
"Tak perlu merasa bersalah begitu," kata Al. Tersenyum dan menyemangati. "Tak ada yang perlu dipersalahkan."
Feno tersenyum. Ingin rasanya menertawakan kenaifan dirinya sendiri.
"Ada yang mengawasi kita," kata Al menghentikan lamunan Feno. Wajahnya kembali acuh tak acuh.
"Jadi memang ada hubungannya, ya?" Kali ini Feno menanggapinya dengan serius.
"Kemungkinan besar begitu. Sebaiknya lebih cepat kita melaksanakan rencana kita. Aku pikir uang kita sudah cukup banyak."
Feno mengangguk setuju. "Perlukah kita memberitahu yang lain?"
"Kau tahu yang terbaik untuk kita semua," kata Al seraya berbalik dan berjalan menuju pintu. Feno mengikuti di belakangnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pusing memikirkan semua masalah ini.
"Tak perlu merasa bersalah begitu," kata Al. Tersenyum dan menyemangati. "Tak ada yang perlu dipersalahkan."
Feno tersenyum. Ingin rasanya menertawakan kenaifan dirinya sendiri.
"Ada yang mengawasi kita," kata Al menghentikan lamunan Feno. Wajahnya kembali acuh tak acuh.
"Jadi memang ada hubungannya, ya?" Kali ini Feno menanggapinya dengan serius.
"Kemungkinan besar begitu. Sebaiknya lebih cepat kita melaksanakan rencana kita. Aku pikir uang kita sudah cukup banyak."
Feno mengangguk setuju. "Perlukah kita memberitahu yang lain?"
"Kau tahu yang terbaik untuk kita semua," kata Al seraya berbalik dan berjalan menuju pintu. Feno mengikuti di belakangnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pusing memikirkan semua masalah ini.
LautanKata
* * *
"Kenapa begitu mendadak?" tanya Rondi saat diajak Feno untuk membeli kapal.
"Uang kita sudah cukup banyak, dan bukankah lebih cepat lebih baik!" kata Feno memberi alasan.
"Tidak biasanya kamu terburu-buru, iyakan, Al?" Pertanyaan itu ditujukan pada Al yang sedari tadi diam saja.
Al hanya mengangkat kedua bahunya. Seperti biasa, sikapnya acuh tak acuh dan terlihat tidak peduli.
Melihat sikap Al, membuat Rondi jengkel. Apalagi dia juga tidak begitu suka dengan sifatnya Al yang tidak pedulian. Dia heran kenapa Feno tidak mengajak Lee yang nyata-nyata lebih tahu tentang kapal, tapi
malah mengajak Al, yang menurutnya tidak mengerti apa-apa dan juga
menjengkelkan.
"Kenapa begitu mendadak?" tanya Rondi saat diajak Feno untuk membeli kapal.
"Uang kita sudah cukup banyak, dan bukankah lebih cepat lebih baik!" kata Feno memberi alasan.
"Tidak biasanya kamu terburu-buru, iyakan, Al?" Pertanyaan itu ditujukan pada Al yang sedari tadi diam saja.
Al hanya mengangkat kedua bahunya. Seperti biasa, sikapnya acuh tak acuh dan terlihat tidak peduli.
Melihat sikap Al, membuat Rondi jengkel. Apalagi dia juga tidak begitu suka dengan sifatnya Al yang tidak pedulian. Dia heran kenapa Feno tidak mengajak Lee yang nyata-nyata lebih tahu tentang kapal, tapi
malah mengajak Al, yang menurutnya tidak mengerti apa-apa dan juga
menjengkelkan.
Ketiga anak laki-laki itu berbelok ke sebuah galangan kapal di dekat pelabuhan. Mereka menuju kantor "Bengkel Jaya", nama galangan itu. Di luar ruangan kantor itu ada seorang gadis yang sepertinya sedang menunggu.
"Wah, dek Linda! Kebetulan sekali. Adek menunggu bang Rondi, ya?" Goda Rondi pada gadis cantik itu. Sepertinya mereka telah saling kenal.
Gadis itu menunduk malu. Pipinya memerah. Tiba-tiba pintu kantor terbuka dan keluar pria paruh baya yang di kenal Feno dan kawan-kawan sebagai syahbandar pelabuhan, Pak Dhar.
"Kalian lagi. Masih berani mengganggu anakku?" bentak pria itu.
"Ti...tidak kok. Kita kesini untuk urusan lain!" ujar Rondi. Dia keder juga, sampai tergagap begitu.
"Wah, dek Linda! Kebetulan sekali. Adek menunggu bang Rondi, ya?" Goda Rondi pada gadis cantik itu. Sepertinya mereka telah saling kenal.
Gadis itu menunduk malu. Pipinya memerah. Tiba-tiba pintu kantor terbuka dan keluar pria paruh baya yang di kenal Feno dan kawan-kawan sebagai syahbandar pelabuhan, Pak Dhar.
"Kalian lagi. Masih berani mengganggu anakku?" bentak pria itu.
"Ti...tidak kok. Kita kesini untuk urusan lain!" ujar Rondi. Dia keder juga, sampai tergagap begitu.
Sementara Rondi berurusan dengan Pak Dhar, Feno dan Al masuk ke dalam kantor. Membiarkan Rondi begitu saja karena di antara mereka hanya Rondi dan Jocker yang sering menggoda Linda.
Di dalam ruangan, ada seseorang yang tengah sibuk menghitung. Cerutu besar di mulutnya mengepulkan asap yang membuat udara menjadi pengap.
"Ada apa, teman?" sapa pria itu. Dia biasa memanggil orang lain dengan sebutan 'teman' dari pada nama yang bersangkutan.
Feno membalas sapaan Pak Jaya dengan berjabat tangan, sedang Al tetap acuh tak acuh. Kemudian mereka duduk tanpa menunggu dipersilahkan.
"Kami ingin membeli kapal," kata Feno tanpa basa basi.
Pak Jaya langsung menghentikaan kegiatannya, tanpa berhenti menghisap cerutu, dan melihat Feno maupun Al dengan tatapan merendahkan.
"Seberapa banyak uang yang kalian punya?" tanya Pak Jaya dengan nada yang meremehkan.
Di dalam ruangan, ada seseorang yang tengah sibuk menghitung. Cerutu besar di mulutnya mengepulkan asap yang membuat udara menjadi pengap.
"Ada apa, teman?" sapa pria itu. Dia biasa memanggil orang lain dengan sebutan 'teman' dari pada nama yang bersangkutan.
Feno membalas sapaan Pak Jaya dengan berjabat tangan, sedang Al tetap acuh tak acuh. Kemudian mereka duduk tanpa menunggu dipersilahkan.
"Kami ingin membeli kapal," kata Feno tanpa basa basi.
Pak Jaya langsung menghentikaan kegiatannya, tanpa berhenti menghisap cerutu, dan melihat Feno maupun Al dengan tatapan merendahkan.
"Seberapa banyak uang yang kalian punya?" tanya Pak Jaya dengan nada yang meremehkan.
"Cukup untuk membeli kapal termahal buatan anda," jawab Feno penuh keyakinan meski dia tahu uangnya tak sebanyak itu.
Pak Jaya tersenyum, kemudian bangkit berdiri. "Ikut aku ke bengkel."
Feno dan Al mengikuti Pak Jaya keluar. Rondi yang dari tadi bermasalah dengan syahbandar juga mengikuti mereka.
Pak Jaya membawa ketiga anak itu ke galeri galangannya. Anak-anak itu takjub melihat betapa megahnya kapal yang ada di situ.
Pak Jaya tersenyum, kemudian bangkit berdiri. "Ikut aku ke bengkel."
Feno dan Al mengikuti Pak Jaya keluar. Rondi yang dari tadi bermasalah dengan syahbandar juga mengikuti mereka.
Pak Jaya membawa ketiga anak itu ke galeri galangannya. Anak-anak itu takjub melihat betapa megahnya kapal yang ada di situ.
"Ini kapal penangkap ikan," bisik Al pada Feno. "Body-nya bongsor, agar mampu mengangkut beban yang banyak."
Feno mengangguk.
"Sama sekali tidak cocok untuk berpetualang," tambah Al.
"Aku tahu," kata Feno pelan. "Tapi, kapal penangkap ikan dirancang untuk mampu menjelajah ketempat yang jauh dan bertahan dalam kondisi badai yang paling ganas sekalipun."
"Lambat," sela Rondi, "sebagai konsekuensi dari bentuk lambung yang besar agar daya angkutnya bertambah. Hanya itu kekurangannya."
Feno mendesah. Dilihatnya kapal di galeri itu kebanyakan memang kapal penangkap ikan. Tidak mendapati apa yang dicarinya, didekatinya Pak Jaya yang berjalan lebih cepat.
"Apa hanya ini? Kami butuh yang lebih cepat," kata Feno kemudian.
Feno mengangguk.
"Sama sekali tidak cocok untuk berpetualang," tambah Al.
"Aku tahu," kata Feno pelan. "Tapi, kapal penangkap ikan dirancang untuk mampu menjelajah ketempat yang jauh dan bertahan dalam kondisi badai yang paling ganas sekalipun."
"Lambat," sela Rondi, "sebagai konsekuensi dari bentuk lambung yang besar agar daya angkutnya bertambah. Hanya itu kekurangannya."
Feno mendesah. Dilihatnya kapal di galeri itu kebanyakan memang kapal penangkap ikan. Tidak mendapati apa yang dicarinya, didekatinya Pak Jaya yang berjalan lebih cepat.
"Apa hanya ini? Kami butuh yang lebih cepat," kata Feno kemudian.
Pak Jaya menghentikan langkahnya. Ditatapnya pemuda di hadapannya itu dengan serius.
"Jika itu yang kalian inginkan," tatapan Pak Jaya melembut, "di sinilah tempatnya."
Pak Jaya membuka sebuah pintu di dinding disebelah kiri, kemudian masuk ke dalamnya. Ketiga pemuda itu mengikutinya.
Pintu itu menghubungkan ke galeri yang berbeda. Disini kapal-kapal yang ada lebih menakjubkan lagi. Kebanyakan merupakan kapal yang di gunakan militer maupun para petualang.
"Inilah Galeri 2!!! Hanya kapal-kapal terhebat buatan kami yang ada disini,"kata Pak Jaya dengan penuh kebanggaan.
LautanKata
"Apa ini termasuk juga?" celetuk Rondi. Tangannya menunjuk ke sebuah kapal tua dengan ukuran yang relatif kecil jika dibandingkan dengan kapal-kapal lain di Galeri 2.
"Jangan remehkan kapal itu. Memang itu bukan buatan kami, tapi jika dilihat dari model dan teknik pembuatannya, kapal itu sudah berumur 100 tahun lebih."
Feno dan Al tidak mempedulikan perdebatan Rondi dan Pak Jaya. Mereka berdua terpesona dengan keanggunan kapal tua itu. Kapal itu seperti memiliki daya tarik tersendiri.
"Berapa harga untuk kapal ini, Pak Jaya?" tanya Feno.
Pak Jaya tersenyum. "Begitu menarik, bukan? Aku pun merasa begitu ketika baru melihat...."
"Sudah! Sebutkan saja harga!" perintah Al.
"Gratis!"
"Kau serius?" tanya Feno dan Al bersamaan.
Pak Jaya mengangguk. "Aku sudah merasa puas jika kalian benar-benar merawat kapal itu dengan baik."
Pak Jaya tidak meragukan lagi bakat dan semangat dari anak-anak ini. Dia tahu sendiri, saat dalam beberapa kesempatan anak-anak ini bekerja di galangannya sebagai tenaga tambahan, begitu lihainya mereka mengerjakan apa yang seharusnya hanya dikerjakan tukang kayu profesional.
Feno dan Al terlihat senang sekali dengan keputusan Pak Jaya. Tapi, itu tidak terlihat pada Rondi.
"Apa kamu benar-benar ingin membeli kapal itu?" tanya Rondi pada Feno. Dari nada bicaranya dia sepertinya kurang setuju.
"Apa kamu tidak setuju?"
"Bukannya aku tidak setuju, tapi kondisi kapal itu sudah sangat mengenaskan."
"Tidak bisa diperbaiki?"
"Bisa."
"Kalau begitu, uang yang digunakan untuk membeli kapal, kita gunakan untuk memperbaikinya. Dan untuk itulah kemampuanmu kita butuhkan," kata Feno meyakinkan.
Al yang dari tadi mengobrol dengan Pak Jaya menghampiri rekannya begitu Pak Jaya pergi.
"Pak Jaya mengizinkan. Kita boleh memakai bengkel lama yang sudah tidak terpakai untuk memperbaiki kapal kita," kata Al
.
Feno mengangguk. "Apa dengan ini cukup?" tanya Feno pada Ron.
LautanKata
Rondi tersenyum. Dalam hati dia memuji kekompakan Feno dan Al dalam bertindak. Dapat dilihatnya, apa saja yang dilakukan kedua temannya itu saling berhubungan, meski tidak didiskusikan terlebih dahulu. Keduanya seperti memiliki pikiran yang sama dan saling terhubung.
"Besok aku akan mulai membeli semua yang kita butuhkan untuk memperbaiki kapal," kata Ron sekaligus memberikan jawaban kesetujuannya.
Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.