(Cerita lain berlatar belakang serial Ujung Dunia)
Kota Pelabuhan Waterpolis, Kerajaan Waterland, Daratan Utara. Seluruh penduduk kota, yang juga berarti seluruh penduduk kerajaan kecil itu, telah mengungsi. Yang tersisa adalah pasukan Aliansi yang mempertahankan kota tersebut saat penduduk mengungsi. Kini, saat giliran pasukan itu untuk mengungsi, kapal penjemput tak kunjung datang, sedangkan keadaan semakin genting. Pemimpin pasukan itu, Kapten Wirawan, terlihat gusar mendapati kenyataan ini.
LautanKata
"Ada apalagi?" bentak sang kapten pada seorang pembawa pesan yang menghampirinya. Posisinya berjongkok menyandar dinding parit perlindungan tempatnya berlindung bersama pasukannya. Matanya jelalatan memandang kesegala arah—tak terkecuali memandang ke atas juga—dengan senapan semi-otomatis ditangannya siap untuk menembak.
"Pesan dari Markas Besar!" teriak pembawa pesan itu untuk mengimbangi suara tembakan dan dentuman meriam yang semakin ramai terdengar. Diserahkannya sebuah gulungan kertas pada atasannya.
"Ada masalah, Pak?" tanya seorang prajurit yang baru saja datang.
"Tidak ada jemputan untuk kita," geram Kapten Wirawan setelah mengetahui isi pesan. Dahinya berkerut-kerut karena menahan amarah.
Terlihat kesedihan dari prajurit yang baru datang mendengar jawaban komandannya. "Aku harap mereka punya alasan yang baik atas keputusan mereka."
"Jalur 69 telah terblokir. Terlalu beresiko untuk menerobos barikade musuh," kata sang kapten. "Daripada memikirkan hal ini, pimpin pasukanmu untuk memperkuat pertahanan di bukit kota. Aku rasa tembok perbatasan tak lama lagi akan jatuh."
"Siap, Pak!" Dan pergilah prajurit itu dari parit perlindungan.
Benar saja, setelah prajurit itu mendapat perintah dari kapten, terdengar teriakan dari prajurit di garis depan yang berlarian mundur.
LautanKata
"Tembok perbatasan telah runtuh!" Demikian teriakan prajurit yang kalut. Mereka berlarian menuju parit perlindungan, yang berada di belakang tembok perbatasan, dengan berondongan peluru dan meriam mengincar mereka. Banyak yang kurang beruntung terkena tembakan atau ledakan. Yang beruntung dan selamat, mencoba menyelamatkan rekan mereka yang terluka atau membawa jasad temannya yang meninggal.
Di parit perlindungan, keadaan tidak jauh lebih baik. pasukan musuh yang telah menguasai tembok perbatasan, dan mulai melintasinya, dengan mudah menembakkan meriam ke parit-parit perlindungan.
"Tinggalkan parit! Mundur ke dalam kota!" teriak Kapten Wirawn memberi perintah.
Akhirnya pasukan kecil itu mulai meninggalkan parit perlindungan yang mulai hancur. Prajurit yang berada di kota membantu mereka dengan memberikan tembakan perlindungan, yang sebenarnya tidak terlalu berguna karena persenjataan ringan yang mereka gunakan.
***
"Kami yang terakhir," kata Kapten Wirawan saat sampai di gerbang kota. Dia membopong seorang prajurit yang terluka parah. "Segera obati dia!" pintanya pada petugas medis yang datang tanpa memperdulikan dirinya yang juga terluka.
Prajurit-prajurit itu akhirnya meninggalkan gerbang kota dan menuju bukit kota. Mereka berlindung di balik bukit dari tembakan-tembakan meriam. Di balik bukit itu mereupakan pusat kota dengan pelabuhan di ujungnya.
Sementara itu, pasukan Koalisi telah memasuki kota tanpa bisa dibendung lagi. Pasukan kecil Aliansi yang menjaga kota, hanya pasrah menunggu tanpa berharap bisa menang karena memang mereka kalah jumlah dan persenjatan. Tak lama kemudian kontak senjata terjadi.
LautanKata
Kapten Wirawan dan pasukannya berjuang mati-matian menahan pasukan Koalisi agar jangan sampai melewati puncak bukit dan menguasai pusat kota maupun pelabuhan karena itu adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk bertahan. Mereka tak mau menyerah, tapi juga tak mau mati.
Tanpa diduga sama sekali, datang pasukan bantuan bagi Aliansi di saat-saat terakhir.
"Butuh bantuan, kawan?" tanya seorang prajurit angkatan laut bertubuh tinggi, besar juga hitam yang baru datang. Sepertinya dia adalah pemimpin pasukan yang baru datang karena lencana di bahunya adalah bintang satu, komodor. Pangkat tertinggi diantara prajurit Aliansi yang ada di kota itu. Ketika datang, bersama pasukannya dia berhasil menahan pasukan Koalisi yang hampir menerobos pertahan pasukan yang telah lebih dahulu ada di situ.
"Nels?" kata Kapten Wirawan ketika melihat orang yang baru datang. Ada kegembiraan dan keterkejutan di wajahnya. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Hanya sekedar mampir," jawab Komodor Nels dengan ringan.
"Bukannya kamu sedang dalam misi khusus?" tanya Kapten Wirawan. Nels adalah teman lamanya. Kini mereka tengah sibuk berlindung di bangunan kota sambil menembaki musuh yang mendekat.
"Operasi Badai Laut," Nels memandang sekilas ke temannya itu, "telah usai. Semua grup ditarik mundur. Aku sendiri mendapat panggilan dari markas besar."
"Kenaikan pangkat lagi?" Kapten Wirawan kagum pada temannya ini yang memng merupakan prajurit yang paling cemerlang di pasukan Aliansi.
"Jika memang kenaikan pangkat, mungkin akan aku terima jika sanggup memembawamu dan orang-orangmu keluar dari neraka ini."
"Mereka yang memerintahkan kau kemari?"
"Tidak. Aku hanya sekedar mampir kesini setelah mendengar ada pasukan Aliansi yang ditinggal karena kapal penjemput tak berani menerobos barikade Koalisi di Jalur 69."
"Terima kasih." Wirawan tersenyum. Dia tahu betul, selain penghargaan hukuman adalah yang paling sering didapat Nels karena sifatnya yang pembangkang.
LautanKata
"Tak perlu. Seharusnya aku dan anak buahku yang berterima kasih karena telah diberi sebuah tantangan. Kau tahu? Menjadi marinir darat lebih berat daripada marinir biasa seperti kami. Apalagi jika tugasnya hanya bermain kucing-kucingan dengan musuh. Sangat membosankan."
"Terserah katamu."
"Okelah kalau begitu, saatnya kita mudur sebelum tempat ini dibombardir kapal-kapalku." Dan mundurlah pasukan itu. Tak lama kemudian terdengar tembakan meriam dari arah laut.
***
"Aku tak percaya kamu membawa satu kapal untuk berlabuh. Kukira kamu hanya menggunakan sekoci untuk merapat," kata Kapten Wirawan saat tiba di pelabuhan dan mendapati satu dari tiga kapal dalam regu temannya itu bersandar di pelabuhan. "Bukankah itu terlalu beresiko?" tambahnya.
"Iya, terlalu beresiko jika hanya membawa sekoci," jawab Komodor Nels nggak nyambung. "Resiko yang tertinggal akan semakin besar jika hanya membawa sekoci untuk merapat karena daya tampungnya kecil. Dalam kamusku, tidak ada yang tertinggal."
Dan saat mereka mulai berlayar menjauh, Kota Waterpolis benar-benar hancur akibat pertempuran itu. Kapten Wirawan yang berdiri di buritan kapal memandang penuh arti ke arah kota yang mulai hilang di balik cakrawala itu. Separuh prajuritnya gugur di kota itu. Dia memejamkan mata sejenak untuk mendoakan prajuritnya yang gugur dan mendapati Komodor Nels telah berada di sampingnya saat dia membuka mata.
"Akhirnya jatuh juga satu-satunya negara Aliansi di Daratan Utara," kata Komodor Nels mengomentari pertempuran yang baru saja terjadi.
LautanKata
"Dan berakhirnya petualanganmu di perairan Utara," sahut Kapten Wirawan yang membuat sahabatnya itu memandangnya dengan heran.
Cerpen oleh Jannu A. Bordineo
cerpen yang menarik dan sip sekali…
BalasHapusmenegangkan sekali, meski hampir separuh prajuritnya gugur T^T
BalasHapusdi saat yg genting, pasti ada jalan, thanks..
datang lagi baca cerpen
BalasHapusdan tidak ada yang tertinggal kata
semua telah kubaca
@anisayu: ups, masih belum ada waktu untuk bikin cerita lagi.
BalasHapus@ladidacafe: ya, ini hanya b-side story. lebih seru cerita utamanya (hightly recommended, :D)