Butuh waktu sebulan penuh bagiku untuk memulihkan tenaga. Aku tak habis pikir bisa selamat dari peristiwa berdarah di rumah sakit itu. Dan peristiwa itu, orang-orang mengatakan efek obat bius masih sangat kuat saat aku tersadar sehingga aku kehilangan kendali. Tapi tidak ada yang bisa memberikan argumen tentang aku yang kehilangan banyak darah. Sepertinya tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya selain diriku dan... perawat itu.
Aku meraba leherku saat mengingat makhluk cantik itu. Tak ada bekas luka gigitan yang membekas. Dan ini kadang membuatku merasa hanya berhalusinasi saja.
Lautan Kata
Aku berjalan gontai melewati pematang sawah. Pikiranku melayang-layang entah kemana. Sampai-sampai aku hampir tidak menyadari ada seseorang yang tiba-tiba muncul di depanku.
"Kau???" Aku tersentak saat mengetahui siapa yang menghalangi jalanku. Tak lain adalah si perawat itu. Tapi kali ini bukan lagi sebagai perawat. Dia mengenakan pakaian selayaknya yang dipakai remaja perempuan pada umumnya. "Kau ingin menuntaskan santapanmu?" tanyaku dengan bodoh.
Dia tetap bungkam. Wajah putihnya seolah-olah bersinar dalam keremangan senja. Tatapannya dingin, dan menatap tajam ke arahku. Sesaat kemudian dia menyeringai. Memamerkan taringnya yang mungil namun tegas.
Lautan Kata
Entah aku sudah sinting atau apalah. Makhluk di depanku itu tetap terlihat anggun meski dengan taring mengerikannya. Tidak, tidak. Taring itu bahkan terlihat serasi dengan bibir mungilnya yang menggoda.
Aku tersenyum. Mengejek diriku sendiri yang terpesona dengan makhluk cantik itu yang mungkin akan menghabisi nyawaku.
Makhluk itu terlihat kaget melihat aku tersenyum. Dan akupun menjadi kaget juga melihat dia bisa kaget.
"Kenapa kau malah tersenyum?" tanyanya dengan lugu. Suaranya terdengar renyah dan merdu. Wajahnya yang tadi bagai bongkahan es kini mulai mencair. Menyeruakkan ekspresi-ekspresi misterius di dalamnya.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin aku sudah pasrah jika akan mati," jawabku asal. Tapi memang begitu, kan, kenyataannya?
Lautan Kata
Dia memoyongkan bibirnya. Kemudian memposisikan dirinya duduk di pematang sawah. Respon yang sangat tidak terduga. Aku rasa dia adalah pribadi yang ekspresif.
"Kamu ini memang aneh. Lain dari pada yang lain," katanya sambil memandang kejauhan. Sebuah pernyataan yang tak terduga lagi-lagi keluar dari mulutnya.
Aku mengarahkan telunjukku ke hidungku. Menunjuk diriku sendiri.
"Aku? Kenapa dengan diriku?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Sepertinya acara buru-memburu ini rehat sejenak dan mungkin akan menjadi acara curhat-curhatan.
"Kau tahu," dia diam sejenak, "setelah merasakan darahmu, aku menjadi tidak terarik lagi dengan darah manusia lannya."
"Jadi kau ini vampir?" Pertanyaan itu spontan keluar dari mulutku. Sekilas aku mengingat serial Twilight yang booming beberapa tahun ini.
"Jawabannya, ya dan tidak." Wajahnya kembali membeku. Ada kesuraman yang tersembunyi dibaliknya.
Aku merasa bersalah dan menyesal membuatnya jadi murung. Mungkin pertanyaanku itu mengingatkannya pada masa lalunya. Dan mungkin masa lalunya suram. Aku berspekulasi.
"Maaf!" kataku dengan tulus.
Mendengar itu, dia melihatku dengan pandangan aneh. "Kau ini memang aneh ya? Aku jadi kehilangan seleraku."
Entah kenapa, aku tersenyum mendengar perkataannya. Aneh rasanya aku merasakan kesenangan berbincang dengannya. "Jadi, kau ini apa?"
Terdengar helaan nafas darinya. "Seperti yang aku katakan tadi. Jika kamu menganggapku vampir, aku tidak akan menyanggahnya. Tapi sebenarnya, aku manusia biasa seperti halnya dirimu. Hanya saja kaumku diberikan kemampuan khusus. Ya, semacam anugrah dari Tuhan gitu."
"Oh!" gumamku tak mengerti. Terlalu rumit bagiku.
Dia tersenyum melihat tingkahku. Senyumnya begitu memikat. Tapi tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi dingin kmbali.
"Ada apa?" tanyaku yang menyadari perubahan ekspresinya.
"Aku harus pergi," jawabnya seraya bangkit berdiri.
"Tidakkah kau dengar suara azan itu?" selanya dengan nada yang meninggi. "Ini sudah hampir malam. Dan juga, seharusnya kau lari dariku karena aku adalah pemangsamu."
"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu," kataku dengan penuh keyakinan. Aku rasa dia juga senang berbincng denganku.
"Oh!" gumamku tak mengerti. Terlalu rumit bagiku.
Dia tersenyum melihat tingkahku. Senyumnya begitu memikat. Tapi tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi dingin kmbali.
"Ada apa?" tanyaku yang menyadari perubahan ekspresinya.
"Aku harus pergi," jawabnya seraya bangkit berdiri.
Lautan Kata
"Kenapa tiba-tiba...""Tidakkah kau dengar suara azan itu?" selanya dengan nada yang meninggi. "Ini sudah hampir malam. Dan juga, seharusnya kau lari dariku karena aku adalah pemangsamu."
"Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu," kataku dengan penuh keyakinan. Aku rasa dia juga senang berbincng denganku.
"Kau tak akan mengerti. Mereka, kaum Hellian, berseteru dengan kaumku. Aku harus pergi. Begitu juga denganmu. Pulanglah." Dia langsung melesat pergi tanpa kutahu ke arah mana.
Aku yang kebingungan melangkah pulang. Apa maksudmu dengan perseteruan? Siapakah kaum Hellian? Dan, siapakah namamu?
Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.