Cerbung "Oasis" Bab 1 - Kedatangan di Tirtalaga
Sebuah rombongan kalifah yang besar terlihat mendekati sebuah kota oasis. Rombongan para pedagang ini terlihat lelah. Tentu saja, karena mereka baru saja melewati padang pasir yang terkenal dengan perampoknya yang kejam.
Diantara para saudagar dan untanya, terlihat beberapa pengawal yang menunggang kuda dengan persenjataan lengkap. Masing-masing saudagar memang biasa menyewa para pendekar untuk dijadikan pengawal agar keselamatannya terjamin. Para pendekar ini bekerjasama untuk melindungi rombongan kalifah meski yang menyewa mereka orang yang berbeda tapi masih dalam satu rombongan.
Lautan Kata
Diantara pengawal itu terlihat dua pendekar yang menunggang unta. Tunggangan yang tak lazim dipakai oleh seorang pendekar. Dua pendekar aneh ini berada pada barisan paling belakang. Agak memisah dengan rombongan.
Salah seorang diantaranya bertubuh sangat besar dan mengenakan pakaian gurun berwarna merah. Pedang berukuran sedang tergantung di pinggangnya. Raut wajahnya keras. Terkesan tidak ramah bagi yang memandangnya. Sedangkan rekannya yang bertubuh cukup kecil--bahkan jika disandingkan dengan pria kebanyakan--mengenakan pakaian berwarna putih kusam. Pedang besar di punggungnya tampak tidak sesuai dengan postur tubuhnya yang kecil. Mungkin lebih pas jika teman besarnya yang memakai.
Sementara itu, gerbang kota mulai terlihat oleh rombongan ini.
"Tirtalaga," gumam pendekar yang bertubuh kecil. "Kota tempat lahirnya para pemberontak."
"Sebutan yang terlalu berlebihan," tanggap si besar.
"Tidak juga. Kau ingatkan? Dulu kita pernah bertempur di tempat ini melawan pemberontak. Dan sekarang pemberontak baru muncul lagi." Si kecil mempertahankan pendapatnya.
"Aku rasa jika pemerintahan raja masih seperti saat ini, pergerakan mereka wajar saja."
"Ya, itu juga alasanmu mengajakku keluar dari laskar kerajaan, kan?"
"Tidak sepenuhnya."
Lautan Kata
"Jika dipikir-pikir..." Pendekar bertubuh kecil itu tidak melanjutkan perkataannya saat melihat pasukan penjaga gerbang mendekat untuk memeriksa rombongan kafilah. "Apa mereka juga pemberontak?" tanyanya kemudian.
"Seluruh elemen kota ini adalah pemberontak," jawab temannya, "jika dilihat dari hukum kerajaan."
"Lebih parah dari dulu, ya," kata si pendekar bertubuh kecil seraya tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa yang cukup nyaring itu menarik perhatian penjaga gerbang--yang tiga diantaranya segera menghela kudanya menghampiri dua pendekar aneh itu.
"Siapa kalian?" tanya salah seorang penjaga. Tatapannya terkesan merendahkan saat memperhatikan dua orang dihadapannya. Pendekar yang bertubuh kecil balas menatap sinis sang penjaga.
"Beraninya kau menatapku seperti itu!" Sang penjaga naik pitam langsung menghunuskan pedangnya.
"Jangan tuan!" Tiba-tiba datang tergopoh-gopoh salah seorang saudagar untuk melerai. "Mereka adalah pengawal yang hamba sewa dan telah menyelamatkan nyawa hamba dan sebagian anggota rombongan. Tolong ampuni mereka!" iba saudagar yang sudah cukup berumur ini.
"Baiklah kalau begitu." Penjaga itu menyarungkan kembali pedangnya. "Tapi tolong ajarkan pada mereka untuk bersikap baik atau mati di tiang gantungan." Ucapan bernada ancaman ini dituturkan sang penjaga sambil menatap tajam ke arah dua pendekar itu, sebelum akhirnya beranjak pergi dari tempat itu.
"Sebaiknya kalian ikuti perkataan penjaga tadi," nasehat saudagar itu setelah para penjaga berada cukup jauh. Orang tua itu juga menyerahkan sekantong uang pada pendekar yang telah di sewanya.
Pendekar yang bertubuh besar mengisyaratkan menolak uang itu. Tapi saudagar itu tetap memaksa.
"Ini sebagai ucapan terima kasih kami. Terimalah!" katanya kemudian.
"Baiklah," sahut pendekar yang bertubuh kecil sambil menyambar kantong itu. "Aku rasa cukup setimpal dengan usaha kami. Terima kasih, pak!"
Perdekar bertubuh besar memelototi rekannya yang sikapnya kurang ajar dan mulutnya ceplas-ceplos itu. Yang dipelototi hanya tertawa saja, meski tatapan pria besar itu sangat mengerikan.
"Kalau begitu saya undur diri dulu, tuan-tuan," pamit sang saudagar.
Lautan Kata
Pria besar itu mengangguk. Sedangkan yang satunya mengucapkan terima kasih.
Saat penjaga gerbang telah selesai memeriksa rombongan kalifah itu, mereka memberi isyarat dan terbukalah pintu gerbang kota.
"Wow, gerbang besar ini seakan mengisyaratkan 'Kau masuk tak akan bisa keluar lagi, kau keluar tak akan bisa masuk lagi'," celoteh pendekar bertubuh kecil. Tapi saat memasuki kota dia benar-benar terperangah sampai tak bisa berkata-kata. Kagum akan keindahan dan kemegahan kota Tirtalaga.
"Mengejutkan melihat perkembangan kota ini. Mengingat 10 tahun yang lalu, ini hanyalah kota oasis kecil yang bahkan nyaris rata dengan tanah karena perang," komentar pendekar bertubuh besar. "Hei, apakah kamu akan terus membuka mulutmu seperti itu," seru pria besar ini saat melihat rekannya begitu terperangah.
"Oh, ya, aku hampir lupa," sahut pria satunya setelah sebelumnya mengatupkan mulutnya yang menganga. "Aku jadi haus. Mari kita kesana," tunjuknya pada sebuah kedai.
Mereka pun masuk ke dalam kedai. Kedatangan mereka cukup menarik perhatian pelanggan lainnya. Hal ini membuat risih pendekar bertubuh kecil tadi.
Saat tengah asyik menikmati hidangan, salah seorang pelanggan yang mabuk menghampiri dua pendekar tadi.
"Hei bung," tepuk pemabuk itu pada pundak pendekar bertubuh kecil, "bilang pada ibumu untuk membelikanmu pedang yang sesuai dengan ukuran tubuhmu!" Seketika gelak tawa meledak di kedai itu mendengar ejekan pemabuk itu.
"Atau pedang mainan saja?" sahut pengunjung lain, yang membuat gelak tawa semakin ramai.
SRING!!!
LautanKata
Kilatan logam terlihat sekejap mata dan menempellah sebuah pedang besar di leher pemabuk itu. Tak lain adalah pedang besar milik pendekar bertubuh kecil yang tadi dihina. Para pengunjung terbelalak kaget dan tak mengira begitu cepatnya gerakan pendekar bertubuh kecil itu mengayunkan pedang besarnya.
"Mau coba dicincang dengan 'mainan' ini?"
Cerbung oleh Jannu A. Bordineo
menarik ceritanya. jadi pingin tahu kelanjutannya
BalasHapus