Resensi oleh Jannu A. Bordineo
Jiwa Pelaut, itulah buku terbaik yang pernah saya baca. Buku yang bercerita mengenai perjuangan pelaut remaja di masa perang kemerdekaan, yang menjalankan misi “penyelundupan” intelijen RI ke Maluku, yang saat itu masih dikuasai oleh penjajah Belanda. Cerita dalam buku ini begitu membekas dalam diri saya sehingga (bisa dikatakan) saya tumbuh besar bersama cerita dalam buku ini.
Jiwa Pelaut, itulah buku terbaik yang pernah saya baca. Buku yang bercerita mengenai perjuangan pelaut remaja di masa perang kemerdekaan, yang menjalankan misi “penyelundupan” intelijen RI ke Maluku, yang saat itu masih dikuasai oleh penjajah Belanda. Cerita dalam buku ini begitu membekas dalam diri saya sehingga (bisa dikatakan) saya tumbuh besar bersama cerita dalam buku ini.
Awal mula
Perkenalan
saya dengan buku ini adalah saat saya pindah ke sekolah yang berada di kampung
kelahiran saya—di akhir semester kedua kelas 4 SD. Selayaknya sekolah yang
berada di pelosok, infrstruktur sekolah itu pun sangat tidak memadai. Dimana
perpustakaannya tak terurus dan menjadi satu dengan gudang. Karena sebab itu,
akses ke perpustakaan sekolah sangat leluasa karena ruangannya tidak pernah
dikunci dan tidak adanya penjaga perpustakaan.
LautanKata
Dengan semua
keleluasan itu, akhirnya saya bisa mengobati rasa dahaga saya akan buku bacaan.
Sebagai informasi, di sekolah lama saya, minat baca saya seperti “terkekang”
oleh kekonyolan pihak sekolah yang menutup rapat-rapat perpustakaannya sehingga
menjadi tempat yang asing bagi kebanyakan siswa. Kekonyolan yang mungkin
dilakukan oleh hampir semua sekolah di Indonesia baik itu di jenjang SD, SMP
maupun SMA/SMK.
Sejak saat
itu saya dikenal sebagai “kutunya” kutu buku. Bagaimana tidak, jika saya
melahap puluhan, bahkan ratusan buku demi memuaskan rasa keingintahuan saya
yang sedang tinggi-tingginya kala itu. Dengan leluasa saya meminjam dan membawa
pulang buku untuk di baca di rumah. Setelah menumpuk, baru saya kembalikan.
Biasanya sekali mengembalikan tas sekolah saya penuh oleh buku yang saya
pinjam. Bisa dibayangkan sendiri berapa puluh judul yang diperlukan untuk
mengisi satu tas sampai penuh.
Saat itu, ketertarikan saya lebih kepada buku-buku cerita daripada buku
ilmiah (kecuali buku pengetahuan populer semacam ensiklopedia). Saya melahap
hampir semua buku cerita, baik itu novel/roman dan buku kumpulan cerpen yang
ada di perpustakaan. Ada juga sih beberapa judul yang tidak saya baca karena isinya
tidak terlalu menarik untuk saya.
LautanKata
Dari semua
buku yang saya baca, ada satu yang begitu membekas dan begitu berpengaruh bagi
diri saya. Buku yang isinya masih saya ingat sampai saat ini. Buku itu berjudul
Jiwa Pelaut. Buku yang
berlatarbelakang perang kemerdekaan.
Pengaruh
Dari buku
ini saya belajar, persatuanlah yang menjadi kunci bangsa Indonesia mencapai
kemerdekaannya. Sebagaimana yang tercermin dalam buku ini. Di mana dari dua
kapal yang menjalankan misi (kapal Semeru
dan Sindoro), seluruh ABK-nya berasal
dari berbagai latar belakang suku maupun agama yng berbeda. Tapi, semuanya
mengesampingkan hal itu dan bersatu dibawah bendera merah putih demi suksesnya
misi. Ada satu adegan saat Yos Sudarso—yang non-muslim—mengingatkan Anto
(penulis) untuk sholat, sesaat sebelum kapal mereka terpisah. Di sinilah terlihat
betapa semangat Bhinneka Tunggal Ika
sangat dijunjung tinggi oleh para pejuang. Semangat itulah yang terbawa dalam
diri saya yang menjadi sensitif terhadap hal-hal yang menyinggung SARA.
Dari buku
ini saya belajar, untuk tidak terlalu mempercayai sejarah yang tertulis di
buku-buku sejarah saat di sekolah. Sejarah sarat dengan kepentingan penguasa,
karenanya sejarah bisa berbeda di rezim yang berbeda. Itu yang saya percaya. Di
dalam buku ini saya mendapati peristiwa bersejarah yang kenyataannya berbeda
dengan apa yang tertulis di buku sejarah. Pemerintah seakan-akan mengerdikal
peran pejuang dari Indonesia timur. Saya tanya kepada pembaca, siapa sajakah
pahlawan/pejuang dari Indonesia timur yang kalian ketahui selain Pattimura?
LautanKata
Karena buku
ini, darah pelaut yang ada dalam diri saya menggelora. Bagaimana tidak, petualangan-petualangan
seru yang mereka lakukan selama berlayar—walaupun dalam kerangka misi
militer—benar-benar menyihir dan mempesona saya. Dan membuat saya ingin merasakannya juga.
(Salah satu cita-cita saya adalah berlayar keliling Indonesia)
Dan didorong
oleh buku ini, saya jadi ingin menulis cerita yang ada unsur petualangannya. Ya!
Setelah membaca Jiwa Pelaut, cerita
lainnya—terutama cerita percintaan—menjadi kurang seru saya rasa. Sejak itu
saya mulai melajar menulis cerita sendiri. Hobi saya yang sebelumnya hanya
membaca bertambah menjadi satu, menulis.
Berpisah
Setelah
lulus SD saya meneruskan sekolah di Pulau Jawa. Saya masih ingat, saya
menyimpan satu eksemplar buku Jiwa Pelaut
di rumah—yang berarti tidak mengembalikan buku yang saya pinjam. Bukan contoh
yang baik, memang. Tapi ini saya lakukan karena melihat kondisi perpustakaan
sekolah yang sangat memprihatinkan. Eksemplar yang saya simpan adalah buku yang
memiliki kondisi paling baik. Lainnya, ada yang tidak utuh / hilang halamannya
maupun tercerai berai halamannya seperti yang saya pinjam saat membaca.
LautanKata
Saya sekolah
di Jawa tanpa tahu kondisi buku itu. Saat saya pulang liburan, dan mencari
keberadaan buku itu, saya tidak pernah
menemukannya lagi. Hilang begitu saja.
Bertahun-tahun
berlalu. Saya sekolah sampai tamat, kemudian kerja, sampai akhirnya pulang
kampung. Saya hampir lupa dengan buku ini, meski beberapa kenangan mengenai isi
cerita masih sering terlintas dalam benak saya.
Akhirnya
Entah datang
dari mana ide untuk melacak kembali buku Jiwa
Pelaut, karena saya ingin memiliki buku ini sebagai salah satu koleksi saya.
Dan mulailah saya mencari buku ini, via internet. Mulanya cukup sulit karena
penerbitnya pun saya tidak tahu, lebih-lebih isbn.
LautanKata
Tapi akhirnya
saya menenemukan juga apa yang saya cari. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka
Jaya, penerbit yang.... sedang sekarat!!! Setelah saya cari tahu, Pustaka Jaya
adalah penerbit buku-buku berkualitas—yang sayangnya nasibnya tak seberuntung Gramedia.
Beruntungnya, penerbit ini masih mampu bertahan meski terseok-seok. Dan pembaca
masih bisa membeli buku-buku lama terbitan Pustaka Jaya.
Kedepannya saya
akan membeli buku Jiwa Pelaut dan
juga, buku seri sebelumnya dan lanjutannya, Jiwa
Pejuang dan Jiwa Petualangan.
Data Buku
Judul : Jiwa Pelaut
Penulis : Moerwanto
Penerbit : Pustaka Jaya
ISBN :
979-419-198-1
Tahun Terbit : 1995 Cet. 1
Sumber gambar: http://perpustakaan.ikafo.org/lib/phpthumb/phpThumb.php?src=../../images/docs/jiwapelaut.JPG&w=200
Sumber gambar: http://perpustakaan.ikafo.org/lib/phpthumb/phpThumb.php?src=../../images/docs/jiwapelaut.JPG&w=200
wah belum pernah baca buku itu, namapknya bagus sesuai dgn jiwa pelaut bangsa ini (bangsa maritim) :D
BalasHapusmemang bagus :)
Hapusdan tidak membosankan untuk dibaca
Menarik membaca ulasannya, saya sendiri anak gunung karena lahir dan besar didaerah pegunungan :-) jadi membaca tentang kehidupan pelaut akan sangat menambah wawasan.
BalasHapuskebalikan dengan saya yang anak pelaut :)
HapusSaya kurang tahu buku terbaik apa yg pernah saya baca. Tapi saya ingat buku cerita yg saya suka banget pas zaman SD dulu. Judulnya Jago-Jago Bandung Selatan. Dulu ada di perpustakaan sekolah saya yg agak bobrok itu, hehe....
BalasHapuskurang lebih sama dengan saya, perihal perpusnya :)
Hapusbuku terbaik yang pernah saya baca adalah buku ESQ bukunya pak ari ginanjar kalau nggak salah mas
BalasHapusbuku tentang apa ya?
HapusWoa, baru tahu soal buku ini .___.
BalasHapusbuku langka ini :v
Hapusbukunya terbitan lama ya
BalasHapustapi sepertinya bagus sampai jadi buku terbaik yang pernah kamu baca
Terbitan tahun 90an.
HapusSaya sudah punya Jiwa Pelaut dan Jiwa Patriot.. masih mencari Jiwa Pejuang..
BalasHapus