Cerpen oleh Jannu A. Bordineo
Anak kecil itu badannya kurus kering, perutnya sedikit buncit dan terlihat lemah. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk tetap bermain dengan teman-temannya. Dia bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya. Badannya yang lemah membuat dirinya mudah ditangkap. Kadang ada teman yang jengkel dengan kelemahannya itu.
“Udah ah,” ujar salah seorang anak, “aku mau pulang. Lapar.”
lautankata.com
“Iya nih, aku juga. Nanti sore kita main lagi, ya” sahut seorang yang lainnya.
Setelah itu mereka bubar. Anak kurus tadi juga pulang. Dia menyusuri persawahan. Kemudian turun ke jalan setapak mengarah ke sungai. Di sanalah rumahnya berada.
Rumahnya hanyalah gubuk yang sangat sederhana. Hampir keseluruhan terbuat dari bambu. Mulai dari tiang-tiangnya, hingga dindingnya terbuat dari bambu yang dianyam. Lantainya, tentu saja, lantai tanah.
Meskipun sudah mulai reyot, rumah itu tampak asri dan terawat dengan baik. Suasana di sekitarnya juga sejuk karena banyaknya rumpun bambu yang meneduhi. Anak itu masuk ke dalam rumah sembari mengucapkan salam.
lautankata.com
Tidak ada jawaban. Anak itu langsung menuju ke belakang rumah.
“Mbok aku lapar,” kata anak itu pada perempuan tua yang sedang membakar sampah di belakang rumah. Perempuan itu adalah ibunya. Dia biasa memanggil ibunya dengan sebutan ‘simbok’.
Perempuan tua itu mendesah. Tanpa menjawab, dia masuk ke dalam rumah. Anaknya mengikuti di belakangnya.
Sang ibu memberikan sebuah piring yang diambilnya dari tempat menyimpan makanan. Di piring itu ada sepotong singkong rebus. Sisa semalam, yang sebenarnya untuk sarapan tadi.
lautankata.com
Anak itu menerimanya dengan muram. Tapi dia sadar hanya itu yang mereka punya. Dia memakannya sekali lahap.
Ilustrasi |
Perempuan tua itu melihat anaknya itu dengan tatapan memelas. Dia tidak tega melihat keadaan anaknya itu. Namun apa daya, tidak ada lagi yang bisa dimakan. Bahkan dirinya juga belum makan seharian.
Setelah makan, anak malang itu beranjak menuju dipan. Dia berbaring di sana. Sejuknya semilir angin yang berhembus melalui celah-celah anyaman bambu membuatnya terlelap.
lautankata.com
Perempuan tua itu melihat anaknya sekilas, kemudian keluar rumah dengan membawa pisau dan bakul. Perempuan tua itu menuju lahan basah di pinggir sungai. Di tempat itu banyak tumbuh tanaman paku-pakuan yang menjalari pepohonan. Dia mencari mideng, pucuk tumbuhan paku berwarna merah yang bisa dimakan dengan dimasak menjadi sayur bening.
Perempuan tua itu memetik mideng secukupnya. Kemudian dia pulang. Di rumah, anaknya masih tidur. Dia langsung menuju dapur. Mideng yang didapatnya tidak langsung dimasak. Saat itu terdengar suara anak-anak dari luar rumah memanggil anaknya.
“Ariyo!” panggil anak-anak.
lautankata.com
Perempuan tua itu membangunkan anaknya. Anak kurus itu bangun dan duduk. Dia mengucek-ucek matanya yang masih ingin merem.
“Itu ada temanmu ngajakin main,” kata sang ibu.
Anak kurus itu langsung bersemangat. Dia segera menemui teman-temannya. Kumpulan anak-anak itu berjalan menuju sungai. Tempat mereka bermain sekaligus mandi sore.
Perempuan tua itu memperhatikan anaknya yang berjalan sedikit sempoyongan. Pola makan yang tidak teratur dan tidak mencukupi jumlah maupun gizinya, membuat anaknya lemah secara fisik. Tentu saja dia ingin mencukupi kebutuhan anaknya, sekaligus menyekolahkannya. Tapi jangankan sekolah, makan tiga kali sehari saja sangat sulit dia cukupi. Dirinya hanyalah janda miskin—yang pendapatannya hanya berasal dari menjadi buruh tani saat masa tanam dan panen. Dan jeda antara dua waktu itu adalah masa paceklik baginya.
lautankata.com
Perempuan tua itu segera menyudahi kegundahan hatinya. Dia akan ke warung untuk mengutang beras barang satu liter. Persediaannya sudah habis sama sekali.
“Apa Mbok Yem nggak dapat BLSM?” tanya ibu pemilik warung saat perempuan tua itu mengutarakan maksudnya untuk mengutang.
“Nggak ada sama sekali. Ya, seperti kemarin-kemarinlah,” jawab perempuan tua itu seraya tersenyum kecut.
lautankata.com
“Pak RT kita memang nggak beres,” ujar ibu pemilik warung. Mulai bergosip. “Keluarganya saja yang diutamakan, sedang orang seperti Mbok Yem dilupakan. Coba lihat, hampir seluruh keluarganya dapat raskin!”
“Sudahlah Bu Imam. Di dusun kita bukan hanya saya yang pantas mendapatkan bantuan. Malah mungkin, banyak yang lebih membutuhkan bantuan daripada saya.”
Tapi, si pemilik warung tahu, Mbok Yem adalah orang yang paling layak menerima bantuan. Memang, sebagian warga dusun mereka hidup di bawah garis kemiskinan—yang sayangnya malah tidak tersentuh oleh program-program bantuan dari pemerintah.
“Mbok Yem ini terlalu mengalah,” kata pemilik warung sambil menyerahkan bungkusan berisi beras. “Tapi, dapat undangan Pak Imron yang caleg itu, kan?”
lautankata.com
Perempuan tua itu mengangguk.
“Ya, nanti pasti dapat bantuan sembako, mungkin juga uang,” pemilik warung itu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Biasalah, caleg cari massa. Kalo nggak obral janji, ya obral duit.” Ibu pemilik warung itu terkekeh setelah mengatakan itu.
Mbok Yem hanya menanggapi dengan senyuman. Saat-saat menjelang pemilu seperti ini, dirinya—dan orang-orang yang kurang mujur lainnya—biasa menjadi objek pencitraan para calon wakil rakyat yang sedang berkampanye. Sebenarnya dia tidak terlalu senang dengan hal itu. Dia sudah muak dengan janji-janji tentang kemajuan yang tidak pernah terlaksana. Tapi, lagi-lagi, dia tidak punya pilihan.
Perempuan tua itu memilih segera pulang daripada terjebak obrolan gosip tak berkesudahan dengan pemilik warung. Tentunya setelah berjanji akan melunasi utangnya jika besok mendapat uang dari caleg.
Di rumah, anaknya belum pulang. Perempuan tua itu segera menuju dapur. Memasak. Saat matahari mulai kembali ke peraduannya, anaknya pulang.
lautankata.com
Anak kurus itu mengucapkan salam. Sang ibu menjawabnya dengan singkat. Kemudian perempuan tua itu membersihkan diri dan mengambil air wudu. Sedangkan anaknya telah pergi ke musola.
Selang lima belas menit kemudian, perempuan tua itu kembali ke dapur. Dia menyiapkan makan malam. Tak lama berselang anaknya pulang.
“Ayo makan, nak!” ajak perempuan tua itu pada anaknya.
“Kenyang aku, Mbok,” jawab anak kurus itu tanpa menoleh ke ibunya. Dia sedang asyik mainan dengan mobil-mobilan yang terbuat dari lempung.
Perempuan tua itu duduk di kursi bambu di samping anaknya. “Kenyang? Kamu habis makan apa?”
lautankata.com
Anak kurus itu menghentikan kegiatannya. Berpikir sejenak sembari menoleh ke sana kemari seperti orang linglung. “Eh.., tadi aku dikasih jajan sama Riko,” katanya dengan intonasi cepat.
Perempuan tua itu tahu anaknya berbohong. Dia menghela napas. “Jawab jujur!”
Anak kurus itu semakin salah tingkah. Perempuan tua itu memberi isyarat menyuruh anaknya untuk duduk di sampingnya.
“Mbok tanya sekali lagi,” kata perempuan tua itu perlahan-lahan, “kamu makan apa?”
Hening. Anak kurus itu tertunduk dan terdiam di samping ibunya.
“Cepat jawab!” Suara sang ibu meninggi. Dia sebenarnya tahu apa yang dimakan anaknya. Tapi dia ingin anaknya berterus terang, demi mengajari kejujuran.
Lama anak kurus itu terdiam. Sang ibu menunggu dengan kesabaran yang menipis.
lautankata.com
“A—aku tadi makan kacang tanah yang kucabut dari ladangnya Pak Ahmad.” Anak kurus itu mengatakannya dengan suara yang nyaris tak terdengar, dan rasa takut yang begitu kentara.
Perempuan tua itu menghirup udara dalam-dalam. Mengendalikan emosinya. Jawaban anaknya sesuai dengan perkiraannya. Dia juga maklum, anaknya itu pasti mengikuti teman-temannya. Karena, mengambil kacang—atau jagung atau tanaman palawija lainnya—yang ditanam di ladang di pinggir sungai barang satu pohon saja, sudah menjadi kebiasaan orang yang pergi ke sungai. Parahnya, orang dewasa pun melakukannya, dan menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak. Perilaku salah itu sudah membudaya.
Tapi, perempuan tua itu tak ingin anaknya menganggap wajar hal salah yang dilakukan oleh banyak orang itu. Walau sedikit, dan dengan alasan apa pun, mencuri tetaplah mencuri.
“Siapa yang mengajarimu mencuri?” Pertanyaan itu sudah seperti hardikan, karena perempuan tua itu mengatakannya dengan suara yang nyaring.
Anak kurus itu semakin meringkuk. Rasa bersalahnya semakin bertambah oleh rasa takutnya terhadap kemarahan ibunya.
lautankata.com
“Siapa yang menyuruhmu mencuri?” Suara perempuan tua itu semakin meninggi. Dan anaknya yang meringkuk di sampingnya mulai terisak.
“Dengar,” kata perempuan tua itu, “kita ini memang miskin. Tak punya apa-apa. Tapi, kita bukan pencuri. Kita tidak mengambil apa pun yang bukan hak kita. Karena kita masih punya harga diri!”
Anak kurus itu sekarang menangis.
“Rentangkan tanganmu kedepan!” perintah perempuan tua itu. Dia ingin anaknya jera dengan memberinya pelajaran.
“Ampun, Mbok!” iba anak kurus itu disela-sela tangisannya. Meski begitu, dia tetap menjulurkan tangannya sesuai perintah ibunya.
lautankata.com
Satu pukulan pelan mendarat di tangan anak kurus itu.
“Jangan pernah kau ulangi perbuatan itu!” Tanpa sadar, air mata meleleh di pipi permpuan tua itu.
PPU, 13/12/2013
Cerpen ini pernah diikutkan lomba (dan belum menang).
cerpennya bagus
BalasHapussemangat ya nulis terus cerpennya
salam kenal
terima kasih. salam kenal juga :)
Hapus