Jalur pantura |
Polisi Pantura
Cerpen karya Jannu A. Bordineo
Cerpen karya Jannu A. Bordineo
"Mas... Mas... bangun, Mas!" Kun menggoncang tubuh Mas To dengan cepat. Kepanikan tergambar jelas di wajahnya. Begitu pula sopir yang berada di sampingnya.
Mas To yang tidur di tempat tidur di belakang kursi menggeliat. Matanya terbuka, merah. "Ada apa?" tanyanya sedikit kesal.
lautankata.com
"Ya, sudah, hadapi sana," kata Mas To tak acuh seraya kembali tidur.
"Sudah, Mas, polisinya masih ngotot."
Mas To bangun, lalu mendengus kesal. "Mana?"
"Itu di bawah." Kun turun dari truk, Mas To menyusul setelahnya dan langsung menemui Pak Polisi.
lautankata.com
"Ada apa, Pak?" tanya Mas To tanpa basa-basi pada aparat bertubuh tinggi-besar, berkumis lebat dan punya timbunan lemak berlebih di perutnya. Mas To yang hanya sebahu polisi itu terlihat kerdil. Namun, tidak ada ketakutan yang ditunjukkannya. Malahan wajahnya nyata-nyata menunjukkan kekesalan.
"Ini, kenapa ada orang di belakang?" Pak Polisi menjawab dengan pertanyaan. Dan memang, di bak belakang ada beberapa anak muda yang siaga menjaga muatan. "Ini melanggar aturan!" dakwanya dengan suara yang ditegas-tegaskan.
Namun Mas To sudah menyiapkan jawabannya.
"Bapak tahu apa yang saya muat ini?"
"Tahu."
lautankata.com
"Bapak mau menanggung jika kambing yang dimuat ini ada yang mati?"
"Ya jelas enggaklah."
"Nah, maka dari itu, Pak, kambing-kambing ini benda hidup. Dan perjalanan ke Jakarta jauh. Anak-anak yang di belakang itu jaga kalau-kalau ada kambing yang kecapekan agar jangan sampai tergeletak diinjak-injak kambing lainnya."
Merasa kalah, Pak Polisi mengeluarkan jurus pamungkasnya, "Peraturan tetaplah peraturan!"
"Oke kalau begitu, Pak. Saya akan bayar denda dan menurunkan anak buah saya, tapi saya minta jaminan uang ganti rugi kalau ada kambing saya mati."
"Kenapa begitu? Itu bukan tanggung jawab aparat kepolisian."
lautankata.com
"Kan Bapak yang meminta menurunkan anak-anak itu? Saya bisa tombok, Pak, kalau ada kambing yang mati. Saya butuh jaminan ganti rugi, entah itu dari bapak atau dari instansi."
Gagal menjerat dengan satu dakwaan, Pak Polisi mencoba mencari-cari kesalahan lainnya. Mulai dari surat kendaraan sampai kelengkapan surat keterangan kesehatan hewan ternak.
Setelah semua argumen terpatahkan, semua surat yang diperiksa ternyata lengkap, di hujung perdebatan kumis Pak Polisi tertekuk layu. Wajahnya memelas sambil berkata, "Tapi saya belum makan dari pagi." Pak Polisi mengusap-usap perutnya yang mirip perut wanita yang hamil muda.
"Oalah, kenapa tidak bilang saja dari tadi?"
Lalu, Mas To mengajak Pak Polisi ke warteg di pinggir jalan. Sebuah warteg yang cukup besar lagi rame. "Pesan saja makanan yang Bapak mau. Pokoknya Bapak tinggal makan saja," Mas To menyilakan.
lautankata.com
Kemudian Mas To menuju kasir. Dia berbincang sejenak dengan penjaga kasir. Dia kenal dengan pemilik warteg itu, juga dia sering mampir sehingga semua pegawai di sana mengenalinya. Setelah itu Mas To mengeluarkan dompetnya.
"Saya tinggal ya, Pak!" pamit Mas To kepada Pak Polisi yang sedang melahap pesanannya. Urusan dengan kasir sudah dia selesaikan.
"Ah, iya. Terima kasih, Mas!" balas Pak Polisi yang wajahnya kembali ceria.
Mas To kembali ke truknya, tempat Kun dari tadi menunggu dengan gelisah.
"Ayo jalan lagi, Pir!" seru Mas To sambil menutup pintu truk yang bersuara keras.
Truk mulai berjalan lagi.
lautankata.com
"Mas traktir tadi?" tanya Kun yang penasaran dengan hasil akhirnya.
"Kelihatannya saja begitu," jawab Mas To sambil nyengir kuda.
lha berarti nggak dibayarin ya polisinya, pura2 aja? hahaha :D
BalasHapusiya, pura-pura aja. :)
Hapussebenarnya bagian akhir itu--jawaban Mas To atas pertanyaan Kun--mau kutulis tanpa kalimat langsung cukup dengan: Mas To nyengir kuda.
tapi, karena takut pembaca tidak mengerti jadinya kutambahkan kalimat langsungnya.
muhahahha,,, harus pinter nego yaaa
BalasHapussebenarnya enggak perlu nego juga sih. yang penting kita harus waspada pada aparat nakal yang sukanya cari kesalahan.
HapusCerpen tentang polisi
BalasHapusGa makan dari pagi
Nyetop truk minta nasi
Tapi ternyata harus bayar sendiri...
wuih... penyair. komentarnya pun berirama. :)
Hapustepat sekali. ini dari kisah nyata yang aku poles sedikit dibagian akhir.
Cerpen yang menarik dan lugas :)
BalasHapusterima kasih :)
Hapusah bagus. pak pol mah kalau laper ya laper aja. haha.
BalasHapustapi, kalau yang bayar polisinya, kenapa dia ngeluarin dompet?
pura-pura :)
Hapus