Stop (cyber)bullying! |
Esai oleh Jannu A. Bordineo
Jika aku tanya: "Apa yang akan kalian lakukan jika mendapati seseorang melakukan kekeliruan?"
lautankata.com
Pasti pada jawab: "Ya, dibetulkanlah. Dikoreksi."
Namun kenyataannya tidak seideal itu. Bahkan yang ada, jauh panggang dari api. Alih-alih mengoreksi, yang ada malah mem-bully.
Sejauh pengamatan dan pengalamanku, hal pertama yang dilakukan oleh banyak dari kita ketika mendapati kekeliruan adalah mem-bully yang bersangkutan, menjadikan kesalahaannya sebagai bahan cemoohan. Apalagi di zaman medsos sekarang ini—yang menawarkan panggung peran semu sebagai singa yang leluasa mengaum lantang, meski sejatinya di dunia nyata seperti anak kucing yang mengeong saja takut-takut—kesalahan kecil sekalipun bisa menjadi amunisi untuk menyerang orang yang silap, lebih-lebih bila dibubuhi sentimen pribadi, hujatan itu bisa lebih kejam lagi.
lautankata.com
Celakanya, mereka seperti tidak merasa salah, malah kelihatannya puas dan bangga. Mereka kayak merasa bebas menyalahi orang yang berbuat salah. Mereka lupa, tanggapan buruk mereka (bully/risak, hujatan, celaan, cemoohan) terhadap orang lain yang silap sudah merupakan kesalahan tersendiri, yang pada akhirnya akan berbalik kepada diri mereka sendiri—bahasa kerennya; kena azab atau karma.
Aku menulis begini bukan berarti aku orang yang bersih dari perbuatan bully, dan menempatkan diri hanya sebagai orang yang pernah menghadapi para pem-bully (di-bully). Sangat mungkin aku juga pernah, secara sadar maupun tidak, mem-bully orang lain. Maka dari itu, tulisan ini terutama sekali menjadi pengingat diri agar selalu jaga jari dan jaga mulut, jaga lisan maupun ketikan, dan tak lupa, jaga hati supaya tidak menjadi pribadi yang merasa paling benar sendiri sampai-sampai dengan entengnya mencela orang lain.
Gersik, PPU, 12/08/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang santun dan sesuai dengan isi tulisan.